Senin, 05 Januari 2015

Matematika ‘Orang Dewasa’ di Sekolah

Matematika merupakan pelajaran yang sering dianggap sebagai ‘momok’ bagi siswa. Momok atau hantu sendiri menjadi predikat bagi matematika karena sifat matematika yang mungkin asing sehingga menakutkan bagi anak. Bukankah hantu itu menakutkan karena hantu merupakan makhluk dimensi lain yang asing di dimensi kita? Maka, sebenar-benarnya yang terjadi pada fenomena anak menganggap matematika sebagai ‘momok’ adalah hadirnya matematika sebagai makhluk berdimensi
lain dalam kehidupan anak. Setelah memahami analisis singkat tersebut, kita kemudian akan bertanya “apakah memang matematika itu berasal dari dimensi lain?”. Jawaban dari pertanyaan ini akan bisa kita temukan bila kita melakukan analisis lebih dalam tentang matematika. Melalui abstraksi, pada hakekatnya, segala macam konsep termasuk konsep-konsep yang ada dalam matematika terjadi karena permulaan/landasan (foundationalisme) atau tanpa permulaan/landasan (anti- foundationalisme). Mari berbica tentang foundationalisme terlebih dahulu.

Segala hal yang ada dan yang mungkin ada dapat menjadi landasan atau foundation. Janji, kesepakatan, keputusan rapat, kelahiran, kematian, membaca 2 kalimat syahadat, dsb adalah contoh landasan yang biasa kita jumpai. Orang yang bertindak tanpa landasan atau foundation merupakan orang yang bertindak tanpa makna atau berdasarkan mitos.

Namun demikian, ada orang yang dalam hidupnya atau membangun konsepnya tanpa landasan (anti-foundationalisme). Hal ini terjadi ketika seseorang mempunyai konsep, tapi tidak dapat menentukan kapan dan di mana dia mulai mengerti. Misalnya kita mengerti tentang sakit, benci, rindu, dst tapi kita tidak dapat menunjukkan kapan dan di mana kita mulai mengertinya.

Antifoundationalisme kemudian disebut juga intuitionisme dari kata intuisi. Lalu apa kaitannya dengan matematika? Matematika sendiri dapat dipandang sebagai pengetahuan formal yang dibangun dengan metode deduksi, yang dimulai dengan landasan menetapkan definisi-definisi, lalu membuat aksioma dan teorema, serta membangun struktur yang konsisten. Itulah yang dilakukan oleh matematikawan murni yang mempelajari matematika dengan deduksi. Hal ini umumnya dilakukan oleh orang dewasa. Domain matematika yang dipandang sebagai ilmu berfondasi di atas adalah para mahasiswa atau matematikawan. Sedangkan anak kecil atau siswa kita belum sampai pada ranah berpikir yang demikian. Anak kecil memperolah ilmunya melalui intuisi sehingga konsep matematika matematika pun harusnya diperoleh melalui intuisinya. Matematika sebagai pengetahuan intuitif kemudian disebut sebagai matematika sekolah. Berbeda dengan pandangan matematika sebagai ilmu yang berfondasi, matematika sekolah menyajikan matematika sebagai sesuatu yang konkret dan mudah ditemui di sekitar kita. Maka dari itu, penting bagi guru untuk mampu menyesuaikan dimensi matematikanya dengan dimensi yang dimiliki siswa, yaitu memulai pemahaman siswa untuk matematika sebagai pengetahuan intuitif, bukan sebagai pengetahuan yang berfondasi. Selanjutnya secara perlahan-lahan membawa pemahaman siswa ke ranah yang lebih tinggi yaitu matematika formal sebagai puncak dari iceberg kita.

Lalu, apa jawaban dari pertanyaan “apakah memang matematika itu berasal dari dimensi lain?” yang kita ajukan di muka? Jawabannya belum tentu dari dimensi lain. Hal ini disebabkan pada ruang dan waktu mana kita memandang matematika. Saat kita memandang matematika sebagai ilmu berfondasi di kumpulan orang-orang dewasa dan di saat membahas matematika tentu matematika bukan makhluk asing. Namun, hal ini akan berubah ketika kita memandang matematika sebagai ilmu yang berfondasi di ruang dan waktunya anak kecil yang syarat akan membangun pengetahuan dengan intuisinya.

Artikel ini terinspirasi dari materi kuliah yang disampaikan Prof.Marsigit di blog powermathematics.blogspot.com.

MASALAH PENDIDIKAN MATEMATIKA DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT

Filsafat secara Umum

Filsafat berasal dari Bahasa Yunani, philosophia atau philosophos. Philos atau philein berarti
teman atau cinta, dan Sophia shopos berarti kebijaksanaan, pengeatahuan, serta hikmah. Dengan
demikian filsafat berarti mencintai hal-hal yang bersifat bijaksana. Immanuel Kant (1724-1804)
mendefinisikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala
pengetahuan. Menurut kant, ada empat yang dikaji dalam filsafat yaitu: apa yang dapat manusia
ketahui? (metafisika), apa yang seharusnya diketahui manusia? (etika), sampai dimana harapan
manusia itu? (agama) dan apakah manusia itu? (antropologi).

Ciri berfikir filsafat adalah radikal (sampai ke akar masalah), sistematik, rasional, mencari
asas, universal, dan spekulatif. Metode yang digunakan dalam berfilsafat, yaitu intensif (mencari
pengetahuan sampai sedalam-dalamnya) dan ekstensif (mencari pengetahuan sampai seluasluasnya)
untuk menemukan makna dari suatu objek kajian filsafat. Sedangkan objek dalam filsafat
adalah hal yang ada dan mungkin ada.

Dalam filsafat terdapat tiga pilar utama yang menjadi unsur dasar kajiannya, yaitu:

1. Ontologi (hakekat), yaitu merupakan bagian kajian filsafat tentang hakekat sesuatu yang
bersifat konkret/ada.
2. Epistemologi (metode), yaitu merupakan bagian kajian filsafat tentang pengetahuan
sistematis yang membahas tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula
pengetahuan, metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran
pengetahuan (ilmiah).
3. Aksiologi (untuk apa), yaitu merupakan bagian kajian filsafat tentang nilai etik dan estetika
suatu pengetahuan dimana hal ini tidak dapat dipisahkan dari tujuannya.

Unsur dasar pada kajian filsafat di atas merupakan kata kunci untuk melihat sesuatu secara filsafat. Hal tersebut dapat dijadikan acuan untuk menemukan pengetahuan yang mendalam dan luas terhadap suatu objek filsafat.

Filsafat Pendidikan Matematika

Pendidikan matematika merupakan salah satu hal yang bisa dikaji secara filsafat. Melalui filsafat pendidikan matematika kita dapat mengetahui tentang pembelajaran matematika secara intensif dan ekstensif. Hal-hal yang menjadi topic utama dalam filsafat pendidikan matematika adalah ideologi, dasar, dan tujuan pendidikan matematika yang meliputi hakekat dari setiap aspek pendidikan matematika.

Paul Ernest (1994) dalam bukunya tentang filsafat pendidikan matematika melihat beberapa pertanyaan yang menjadi perhatian dalam filsafat pendidikan matematika yang secara umum dituliskan oleh Marsigit (2009) sebagai tujuan filsafat pendidikan matematika. Tujuan itu adalah untuk mengklarifikasi dan menjawab pertanyaan tentang status dan dasar dari objek serta metode dalam pendidikan matematika; secara ontologi mengklarifikasi hakekat dari setiap komponen dalam pendidikan matematika; secara epistemologi mengklarifikasi apakah semua konten dalam pendidikan matematika memiliki tujuan dan mengarah kepada kebenaran. Berikut merupakan penjabaran dari tujuan filsafat pendidikan matematika dilihat dari unsur-unsur kajian filsafat pendidikan matematika:

1. Aspek Ontologi
Seperti dalam penjelasan bagian sebelumnya, ontologi merupakan bagian dari kajian filsafat tentang hakekat sesuatu (the nature of something). Dalam pendidikan matematika hakekat yang perlu digali meliputi hakekat dari semua komponen dalam pendidikan matematika, yaitu peserta didik, guru, konten pembelajaran, matematika, media, pengetahuan, lingkungan pendidikan, fasilitas, dsb. Pemahaman akan hakekat-hakekat tersebut dapat membantu seorang guru untuk menjalankan fungsinya. Contohnya, apabila guru menyadari bahwa pada hakekatnya peserta didik adalah makhluk sosial, guru akan memperhatikan aspek sosial dari siswa selama proses pembelajaran. Begitupun bila guru mengetahui hakekat guru adalah sebagai fasilitator di kelas, tentunya guru akan membantu siswa dalam memfasilitasinya untuk mengembangkan pengetahuannya.

2. Aspek Epistemologi
Epistemologi berkaitan dari pertanyaan tentang metode, yaitu “bagaimana”. Setelah seorangguru memahami tentang hakekat dari komponen dalam pendidikan matematika, kemudian seorang guru menggunakan pemahaman terhadap hal tersebut untuk menciptakan proses pembelajaran yang sesuai, baik dengan kebutuhan siswa, peran guru, hingga tujuan pendidikan.

3. Aspek Aksiologi
Aksiologi merupakan bagian kajian filsafat tentang nilai etik dan estetika suatu pengetahuan dimana hal ini tidak dapat dipisahkan dari tujuannya. Secara epistemologi kita telah menjawab pertanyaan tentang apakah semua konten dalam pendidikan matematika memiliki tujuan, namun dalam segmen ini filsafat kita kembali mengarahkan pertanyaan kita ke arah yang lebih dalam dengan mempertanyakan tentang etika dan estetika dari setiap komponen dalam pendidikan matematika.

Sumber:
Handout Philosophy of Mathematics Education oleh Prof. Dr. Marsigit, MA.

Ikan Kecil di Lautan Globalisasi Itu adalah Saya

Tulisan ini terinspirasi dari perkuliahan Filsafat Pendidikan Matematika oleh Prof. Marsigit pada hari Rabu, 29 Oktober 2014 di D01.204 FMIPA UNY.

Diskusi pada mata kuliah filsafat selalu menjadi hal yang membuat saya penasaran. Hal ini mungkin karena memang filsafat mengajarkan kita berpikir tentang sesuatu dengan makna yang lebih dalam dan luas. Hal ini sesuai dengan sifat filsafat sendiri yang dapat dipelajari dengan metode intensif (sedalam-dalamnya) dan ekstensif (seluas-luasnya). Contohnya warna biru. Secara intensif kita dapat menemukan banyak jenis warna biru, mulai dari biru muda, biru agak muda, biru toska, dst. Di lain sisi, secara ekstensif kita dapat melihat warna biru dari jenis bahannya, harganya, fungsinya, tujuannya, dst. Hal inilah yang membuat filsafat menjadi unik bila dibandingkan dengan mata kuliah lainnya.

Pada kuliah kali ini, diskusi diawali dengan mencari hal yang berubah dan tetap di tubuh kita. Dengan analisis sederhana, mahasiswa mengatakan bahwa yang tetap itu meliputi jumlah mata, jumlah hidung, jumlah telinga, dst. Sedang yang berubah contohnya adalah tinggi badan, bentuk badan, berat badan, hingga pikiran. Secara umum, objek yang bersifat tetap itu ada di pikiran, sedang
objek yang tidak tetap itu meliputi pengelaman atau realita. Hal diilustrasikan oleh Prof.Marsigit dengan menunjukan sebuah penghapus dan menyembunyikannya. Kemudian mahasiswa ditanya tentang warna penghapus. Tentu dengan mudah mahasiswa akan menjawabnya karena mahasiswa sudah melihat penghapus tersebut terlebih dahulu. Hal ini menandakan bahwa penghapus sudah ada di pikiran mahasiswa. Hal yang ada di pikiran sifatnya tunggal, ideal, dan tetap. Sedangkan hal yang ada di luar pikiran sifatnya plural, dinamis, dan real. Dalam perkembangannya muncullah teori filsafat realisme (Aristoteles) dan idealism (Plato).

Setelah muncul aliran filsafat ini, kemudian berkembang teori filsafat tentang ilmu yaitu Rasionalisme yang dikemukakan Rene Descartes dan Empirisme yang dikemukakan oleh D.Hume. Masing-masing mengklain kebenaran alirannya. Rasionalisme memandang ilmu dibentuk berdasarkan rasio, sedangkan empirisme memandang bahwa ilmu dibentuk berdasarkan pengalaman. Pada perkembangan selanjutnya, muncullah teori Immanuel Kant sebagai penengah dari kedua aliran sebelumnya. Menurut Immanuel Kant yang ada di dalam pikiran itu sifatnya tetap, sedang yang di luar itu dinamis. Selain itu, Immanuel Kant juga mengemukakan bahwa pada dasarnya dunia itu terdiri dari prinsip identitas dan kontradiksi. Identitas itu ketika A=A, B=B, atau C=C, sedang ini sifatnya hanya ada di pikiran maka sebenarnya-benarnya obyek bersifat kontradiktif. Contoh, bila kita mengatakan bahwa jilbab itu berwarna biru, tentu kita tidak bisa menyimpulkan bahwa biru sama dengan jilbab.

Maka menurut Immanuel Kant bahwa yang ada di pikiran itu sifatnya analitik a priori dan yang di luar pikiran itu sintetik a posteriori. Sehingga rasio sifatnya analitik a priori dan pengalaman sifatnya sintetik a posteriori. Sebenar-benarnya ilmu itu adalah menggabungkan pengalaman dengan rasio. Bila kita menggunakan rasio saja dalam menggapai ilmu tentu ilmu yang kita punya hanya jadi imajinasi atau khayalan. Sedang bila kita menggunakan pengalaman saja dalam menggapai ilmu maka ilmu yang kita punya tak berdasar. Rasio dan pengalaman itu saling bersinergi membentuk ilmu. Karena sebenar-benarnya pengalaman adalah yang dipikirakan, sedang sebenar-benarnya pikiran adalah yang diterapkan atau diimplementasikan.

Perkembangan aliran filsafat kemudian semakin seru dengan munculnya pendapat Auguste Comte yang mengesampingkan filsafat dan agama dibanding rasio. Auguste Comte berpandangan bahwa untuk membentuk masyarakat yang makmur cukup dengan mengurusi hal-hal yang masuk akal saja (rasional), tak perlu menghabiskan waktu untuk memikirkan apalagi melakukan hal yang irrasional seperti berdoa dan beribadah. Pemikiran Auguste Comte ini yang kemudian mempengaruhi dunia kontemporer saat ini yang kemudian muncul istilah-istilah lain yang mengekor di bawahnya seperti kapitalisme, hedonisme, utilitarianisme, materialisme, dst. Ciri utama dari kehidupan dunia kontemporer saat ini adalah kemunafikan. Jadi sekarang kita diibaratkan sebagai seekor ikan kecil yang hidup dan berenang di lautan kehidupan modern yang berisi kapitalisme, hedonisme, utilitarianisme, materialisme, dst. Bila tidak kuat berpegang pada ajaran agama dan filsafat hidup yang benar, niscaya kita hanya akan menjadi makhluk modern yang syarat akan kemunafikan. Hal ini hanya akan berujung pada kesia-siaan karena hakekat hidup adalah menyiapkan bekal untuk kehidupan yang lebih baik di akhirat kelak.

Proses Menterjamahkan dan Diterjemahkan Filsafat: Sebuah Refleksi Awal Pembelajaran Filsafat

Tulisan ini terinspirasi dari perkuliahan Filsafat Pendidikan Matematika bersama Prof.Marsigit di
ruang D01.204 pada tanggal 15 Oktober.

Filsafat merupakan hal yang baru di telinga kami, mahasiswa s1 Pendidikan Matematika angkatan 2011. Menyadari hal ini Prof.Marsigit selaku dosen mata kuliah filsafat pendidikan matematika menggunakan metode tanya-jawab untuk membahas berbagai macam hal secara filsafati.

Pertanyaan pertama dari Medina Rendani Sabana tentang hubungan filsafat dengan keyakinan, apakah filsafat yang mempengaruhi keyakinan atau sebaliknya. Prof.Marsigit mengemukakan pandangan Beliau bahwa seharusnya keyakinan yang mempengaruhi filsafat, bukan sebaliknya. Filsafat merupakan olah pikir yang memandang sesuatu seluas-luasnya tanpa batasan, kecuali keyakinan. Sehingga filsafat yang kita miliki seharusnya merepresentasikan diri kita termasuk keyakinan. Dalam kaitannya dengan matematika, jangan sekali-sekali ilmu matematikamu membuat kadar keimananmu berkurang. Seharusnya justru dengan matematika lah keyakinan semakin bertambah.

Pertanyaan kedua adalah pertanyaan dari Sukmo Purwo tentang obyek filsafat yang meliputi yang ada dan mungkin ada sehingga timbul pertanyaan tentang eksistensi yang tidak ada. Prof.Marsigit memulai pemahaman kami dengan ilustrasi tentang kegiatan pribadinya dengan istrinya. Prof. Marsigit berencana untuk mengunjungi adiknya di suatu malam, sedangkan istrinya berencan untuk mengikuti pengajian. Akan tetapi, Beliau dan istrinya membatalkan rencana tersebut dan sama-sama melakukan kesibukan masing-masing di rumah. Kala itu berarti bila dilihat dari perspektif rumah sebagai ruangnya, maka pak marsigit dan istrinya ada. Tapi, jika dilihat dari perspektif rumah adik Prof.Marsigit atau tempat pengajian sebagai ruangnya, maka Prof.Marsigit dan istri tidak ada. Keberadaan sesuatu pada ruang tertentu, merupakan ketiadaan di ruang yang lain pada waktu yang sama.

Pertanyaan yang ketiga dari saya, Aisyah Purnama Dewi adalah bagaimana filsafat memandang konsep ikhlas, baik dalam belajar, pikiran, hati, dst. Prof. Marsigit kemudian menjawab, selama ikhlas itu dikatakan itu tidak benar, ikhlas masuk ranah spiritual. Untuk tataran urusan dunia, ikhlas menjadi multitafsir, sedangkan untuk tataran urusan akhirat manusia tak akan mencapai. Hanya berusaha untuk memenuhi rukunnya. Barangsiapa yang mengaku AKU di depan yang MahaKuasa, maka dia terlempar jauh. Kita harus melepaskan keakuan kita di depan yang Maha Kuasa. Untuk urusan dunia: sesuai dengan kodratnya, keseimbangan hak dan kewajibannya.

Pertanyaan yang keempat dari Ghosa Kurnia Fistika tentang yang ada dan yang mungkin ada. Prof.Marsigit kembali menjawab dengan sebuah ilustrasi. Kali ini tentang nama cucunya. Nama cucu
Pak Marsigit masih menjadi yang mungkin ada buat kami (karena kami belum tahu), sedangkan merupakan hal yang ada bagi pak Marsigit (karena beliau sudah tahu). Ketika Pak Marsigit memberitahu kami, baik melalui tulisan ataupun lisan, maka nama cucu Beliau menjadi hal yang ada
bagi kami.

Prof.Marsigit kemudian memberi nasihat bahwa sebaik-baiknya belajar adalah mengadakan dari yang mungkin ada. Hubungannya dengan ikhlas dalam belajar yaitu ikhlas dalam mengadakan yang mungkin ada. Hal ini dapat dilihat dari sikap-sikap yang muncul saat proses pembelajaran, yang meliputi keistiqomahan, ketuma’ninahan kita.

Pertanyaan berikutnya yang muncul dari teman kami adalah tentang objek filsafat yang ada di dalam maupun luar pikiran. Prof. Marsigit menjelaskan bahwa objek filsafat itu yang di dalam pikiran dan di luar pikiran. Kita bisa mengatakan pulpen pak marsigit hitam karena pulpennya ada di pikiran kita setelah kita melihatnya. Yang ada di pikiran idealita sedang yang ada di luar pikiran realita. Ideal tokohnya plato.

Pertanyaan selanjutnya dari Dita Nur Syarafina tentang eksistensi ketenangan padahal manusia bersifat kontradiktif. Dunia punya prinsip(Emmanuel Kant) identitas, aku=aku x=x, cuma pengandaian. Belum selesai menunjuk diriku, diriku sudah berubah. Karena sensitif dalam ruang dan
waktu. Jika subjek itu adalah dirimu, maka predikat adalah milikmu. Jilbab itu warna biru tapi bukanjilbab=biru. (kualitas 1)

Jika ketenangan itu berarti tetap, itu hanya pengandaian. Pikiran harus tidak tenang, hatilah yang harus tenang. Pikiran yang tidak tenang akan membawa kita untuk selalu mencari tesis, antitesis, dan sintesis (belajar). Sedang hati yang tenang yang didapat lewat mendekatkan diri kepada yang Maha Kuasa akan membawa kita kepada kebermaknaan hidup. Ada kyai yang mengatakan aku melihat banyak orang, tapi banyak yang terancam kematian di hatinya.

Senin, 29 Desember 2014

BEASISWA DATAPRINT, BEASISWA UNTUK SEMUA


Anda pemburu beasiswa? Anda pengguna dataprint? Yuk ikutan BEASISWA DATAPRINT. 
Sekilas tentang Beasiswa
Program beasiswa DataPrint telah memasuki tahun keempat. Setelah sukses mengadakan program beasiswa di tahun 2011 hingga 2013, maka DataPrint kembali membuat program beasiswa bagi penggunanya yang berstatus pelajar dan mahasiswa.  Hingga saat ini lebih dari 1000 beasiswa telah diberikan bagi penggunanya.
Di tahun 2014 sebanyak 700 beasiswa akan diberikan bagi pendaftar yang terseleksi. Program beasiswa dibagi dalam dua periode. Tidak ada sistem kuota berdasarkan daerah dan atau sekolah/perguruan tinggi. Hal ini bertujuan agar beasiswa dapat diterima secara merata bagi seluruh pengguna DataPrint.  Beasiswa terbagi dalam tiga nominal yaitu Rp 250 ribu, Rp 500 ribu dan Rp 1 juta. Dana beasiswa akan diberikan satu kali bagi peserta yang lolos penilaian. Aspek penilaian berdasarkan dari essay, prestasi dan keaktifan peserta.
Beasiswa yang dibagikan diharapkan dapat meringankan biaya pendidikan sekaligus mendorong penerima beasiswa untuk lebih berprestasi. Jadi, segera daftarkan diri kamu, klik kolom PENDAFTARAN pada web http://beasiswadataprint.com/
Pendaftaran periode 1 : 7 Februari – 30 Juni 2014
Pengumuman                : 10 Juli 2014

Pendaftaran periode 2   : 1 Juli – 31 Desember 2014
Pengumuman                : 12 Januari 2015

So, don't miss it guys! BEASISWA DATAPRINT, BEASISWA UNTUK SEMUA.
DATAPRINT? SAHABAT PRINTER ANDA.