Matematika merupakan pelajaran yang sering dianggap sebagai ‘momok’ bagi siswa. Momok atau hantu sendiri menjadi predikat bagi matematika karena sifat matematika yang mungkin asing sehingga menakutkan bagi anak. Bukankah hantu itu menakutkan karena hantu merupakan makhluk dimensi lain yang asing di dimensi kita? Maka, sebenar-benarnya yang terjadi pada fenomena anak menganggap matematika sebagai ‘momok’ adalah hadirnya matematika sebagai makhluk berdimensi
lain dalam kehidupan anak. Setelah memahami analisis singkat tersebut, kita kemudian akan bertanya “apakah memang matematika itu berasal dari dimensi lain?”. Jawaban dari pertanyaan ini akan bisa kita temukan bila kita melakukan analisis lebih dalam tentang matematika. Melalui abstraksi, pada hakekatnya, segala macam konsep termasuk konsep-konsep yang ada dalam matematika terjadi karena permulaan/landasan (foundationalisme) atau tanpa permulaan/landasan (anti- foundationalisme). Mari berbica tentang foundationalisme terlebih dahulu.
Segala hal yang ada dan yang mungkin ada dapat menjadi landasan atau foundation. Janji, kesepakatan, keputusan rapat, kelahiran, kematian, membaca 2 kalimat syahadat, dsb adalah contoh landasan yang biasa kita jumpai. Orang yang bertindak tanpa landasan atau foundation merupakan orang yang bertindak tanpa makna atau berdasarkan mitos.
Namun demikian, ada orang yang dalam hidupnya atau membangun konsepnya tanpa landasan (anti-foundationalisme). Hal ini terjadi ketika seseorang mempunyai konsep, tapi tidak dapat menentukan kapan dan di mana dia mulai mengerti. Misalnya kita mengerti tentang sakit, benci, rindu, dst tapi kita tidak dapat menunjukkan kapan dan di mana kita mulai mengertinya.
Antifoundationalisme kemudian disebut juga intuitionisme dari kata intuisi. Lalu apa kaitannya dengan matematika? Matematika sendiri dapat dipandang sebagai pengetahuan formal yang dibangun dengan metode deduksi, yang dimulai dengan landasan menetapkan definisi-definisi, lalu membuat aksioma dan teorema, serta membangun struktur yang konsisten. Itulah yang dilakukan oleh matematikawan murni yang mempelajari matematika dengan deduksi. Hal ini umumnya dilakukan oleh orang dewasa. Domain matematika yang dipandang sebagai ilmu berfondasi di atas adalah para mahasiswa atau matematikawan. Sedangkan anak kecil atau siswa kita belum sampai pada ranah berpikir yang demikian. Anak kecil memperolah ilmunya melalui intuisi sehingga konsep matematika matematika pun harusnya diperoleh melalui intuisinya. Matematika sebagai pengetahuan intuitif kemudian disebut sebagai matematika sekolah. Berbeda dengan pandangan matematika sebagai ilmu yang berfondasi, matematika sekolah menyajikan matematika sebagai sesuatu yang konkret dan mudah ditemui di sekitar kita. Maka dari itu, penting bagi guru untuk mampu menyesuaikan dimensi matematikanya dengan dimensi yang dimiliki siswa, yaitu memulai pemahaman siswa untuk matematika sebagai pengetahuan intuitif, bukan sebagai pengetahuan yang berfondasi. Selanjutnya secara perlahan-lahan membawa pemahaman siswa ke ranah yang lebih tinggi yaitu matematika formal sebagai puncak dari iceberg kita.
Lalu, apa jawaban dari pertanyaan “apakah memang matematika itu berasal dari dimensi lain?” yang kita ajukan di muka? Jawabannya belum tentu dari dimensi lain. Hal ini disebabkan pada ruang dan waktu mana kita memandang matematika. Saat kita memandang matematika sebagai ilmu berfondasi di kumpulan orang-orang dewasa dan di saat membahas matematika tentu matematika bukan makhluk asing. Namun, hal ini akan berubah ketika kita memandang matematika sebagai ilmu yang berfondasi di ruang dan waktunya anak kecil yang syarat akan membangun pengetahuan dengan intuisinya.
Artikel ini terinspirasi dari materi kuliah yang disampaikan Prof.Marsigit di blog powermathematics.blogspot.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar