Tulisan ini terinspirasi dari perkuliahan Filsafat Pendidikan Matematika bersama Prof.Marsigit di
ruang D01.204 pada tanggal 15 Oktober.
Filsafat merupakan hal yang baru di telinga kami, mahasiswa s1 Pendidikan Matematika angkatan 2011. Menyadari hal ini Prof.Marsigit selaku dosen mata kuliah filsafat pendidikan matematika menggunakan metode tanya-jawab untuk membahas berbagai macam hal secara filsafati.
Pertanyaan pertama dari Medina Rendani Sabana tentang hubungan filsafat dengan keyakinan, apakah filsafat yang mempengaruhi keyakinan atau sebaliknya. Prof.Marsigit mengemukakan pandangan Beliau bahwa seharusnya keyakinan yang mempengaruhi filsafat, bukan sebaliknya. Filsafat merupakan olah pikir yang memandang sesuatu seluas-luasnya tanpa batasan, kecuali keyakinan. Sehingga filsafat yang kita miliki seharusnya merepresentasikan diri kita termasuk keyakinan. Dalam kaitannya dengan matematika, jangan sekali-sekali ilmu matematikamu membuat kadar keimananmu berkurang. Seharusnya justru dengan matematika lah keyakinan semakin bertambah.
Pertanyaan kedua adalah pertanyaan dari Sukmo Purwo tentang obyek filsafat yang meliputi yang ada dan mungkin ada sehingga timbul pertanyaan tentang eksistensi yang tidak ada. Prof.Marsigit memulai pemahaman kami dengan ilustrasi tentang kegiatan pribadinya dengan istrinya. Prof. Marsigit berencana untuk mengunjungi adiknya di suatu malam, sedangkan istrinya berencan untuk mengikuti pengajian. Akan tetapi, Beliau dan istrinya membatalkan rencana tersebut dan sama-sama melakukan kesibukan masing-masing di rumah. Kala itu berarti bila dilihat dari perspektif rumah sebagai ruangnya, maka pak marsigit dan istrinya ada. Tapi, jika dilihat dari perspektif rumah adik Prof.Marsigit atau tempat pengajian sebagai ruangnya, maka Prof.Marsigit dan istri tidak ada. Keberadaan sesuatu pada ruang tertentu, merupakan ketiadaan di ruang yang lain pada waktu yang sama.
Pertanyaan yang ketiga dari saya, Aisyah Purnama Dewi adalah bagaimana filsafat memandang konsep ikhlas, baik dalam belajar, pikiran, hati, dst. Prof. Marsigit kemudian menjawab, selama ikhlas itu dikatakan itu tidak benar, ikhlas masuk ranah spiritual. Untuk tataran urusan dunia, ikhlas menjadi multitafsir, sedangkan untuk tataran urusan akhirat manusia tak akan mencapai. Hanya berusaha untuk memenuhi rukunnya. Barangsiapa yang mengaku AKU di depan yang MahaKuasa, maka dia terlempar jauh. Kita harus melepaskan keakuan kita di depan yang Maha Kuasa. Untuk urusan dunia: sesuai dengan kodratnya, keseimbangan hak dan kewajibannya.
Pertanyaan yang keempat dari Ghosa Kurnia Fistika tentang yang ada dan yang mungkin ada. Prof.Marsigit kembali menjawab dengan sebuah ilustrasi. Kali ini tentang nama cucunya. Nama cucu
Pak Marsigit masih menjadi yang mungkin ada buat kami (karena kami belum tahu), sedangkan merupakan hal yang ada bagi pak Marsigit (karena beliau sudah tahu). Ketika Pak Marsigit memberitahu kami, baik melalui tulisan ataupun lisan, maka nama cucu Beliau menjadi hal yang ada
bagi kami.
Prof.Marsigit kemudian memberi nasihat bahwa sebaik-baiknya belajar adalah mengadakan dari yang mungkin ada. Hubungannya dengan ikhlas dalam belajar yaitu ikhlas dalam mengadakan yang mungkin ada. Hal ini dapat dilihat dari sikap-sikap yang muncul saat proses pembelajaran, yang meliputi keistiqomahan, ketuma’ninahan kita.
Pertanyaan berikutnya yang muncul dari teman kami adalah tentang objek filsafat yang ada di dalam maupun luar pikiran. Prof. Marsigit menjelaskan bahwa objek filsafat itu yang di dalam pikiran dan di luar pikiran. Kita bisa mengatakan pulpen pak marsigit hitam karena pulpennya ada di pikiran kita setelah kita melihatnya. Yang ada di pikiran idealita sedang yang ada di luar pikiran realita. Ideal tokohnya plato.
Pertanyaan selanjutnya dari Dita Nur Syarafina tentang eksistensi ketenangan padahal manusia bersifat kontradiktif. Dunia punya prinsip(Emmanuel Kant) identitas, aku=aku x=x, cuma pengandaian. Belum selesai menunjuk diriku, diriku sudah berubah. Karena sensitif dalam ruang dan
waktu. Jika subjek itu adalah dirimu, maka predikat adalah milikmu. Jilbab itu warna biru tapi bukanjilbab=biru. (kualitas 1)
Jika ketenangan itu berarti tetap, itu hanya pengandaian. Pikiran harus tidak tenang, hatilah yang harus tenang. Pikiran yang tidak tenang akan membawa kita untuk selalu mencari tesis, antitesis, dan sintesis (belajar). Sedang hati yang tenang yang didapat lewat mendekatkan diri kepada yang Maha Kuasa akan membawa kita kepada kebermaknaan hidup. Ada kyai yang mengatakan aku melihat banyak orang, tapi banyak yang terancam kematian di hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar