Tulisan ini terinspirasi dari perkuliahan Filsafat Pendidikan Matematika oleh Prof. Marsigit pada hari Rabu, 29 Oktober 2014 di D01.204 FMIPA UNY.
Diskusi pada mata kuliah filsafat selalu menjadi hal yang membuat saya penasaran. Hal ini mungkin karena memang filsafat mengajarkan kita berpikir tentang sesuatu dengan makna yang lebih dalam dan luas. Hal ini sesuai dengan sifat filsafat sendiri yang dapat dipelajari dengan metode intensif (sedalam-dalamnya) dan ekstensif (seluas-luasnya). Contohnya warna biru. Secara intensif kita dapat menemukan banyak jenis warna biru, mulai dari biru muda, biru agak muda, biru toska, dst. Di lain sisi, secara ekstensif kita dapat melihat warna biru dari jenis bahannya, harganya, fungsinya, tujuannya, dst. Hal inilah yang membuat filsafat menjadi unik bila dibandingkan dengan mata kuliah lainnya.
Pada kuliah kali ini, diskusi diawali dengan mencari hal yang berubah dan tetap di tubuh kita. Dengan analisis sederhana, mahasiswa mengatakan bahwa yang tetap itu meliputi jumlah mata, jumlah hidung, jumlah telinga, dst. Sedang yang berubah contohnya adalah tinggi badan, bentuk badan, berat badan, hingga pikiran. Secara umum, objek yang bersifat tetap itu ada di pikiran, sedang
objek yang tidak tetap itu meliputi pengelaman atau realita. Hal diilustrasikan oleh Prof.Marsigit dengan menunjukan sebuah penghapus dan menyembunyikannya. Kemudian mahasiswa ditanya tentang warna penghapus. Tentu dengan mudah mahasiswa akan menjawabnya karena mahasiswa sudah melihat penghapus tersebut terlebih dahulu. Hal ini menandakan bahwa penghapus sudah ada di pikiran mahasiswa. Hal yang ada di pikiran sifatnya tunggal, ideal, dan tetap. Sedangkan hal yang ada di luar pikiran sifatnya plural, dinamis, dan real. Dalam perkembangannya muncullah teori filsafat realisme (Aristoteles) dan idealism (Plato).
Setelah muncul aliran filsafat ini, kemudian berkembang teori filsafat tentang ilmu yaitu Rasionalisme yang dikemukakan Rene Descartes dan Empirisme yang dikemukakan oleh D.Hume. Masing-masing mengklain kebenaran alirannya. Rasionalisme memandang ilmu dibentuk berdasarkan rasio, sedangkan empirisme memandang bahwa ilmu dibentuk berdasarkan pengalaman. Pada perkembangan selanjutnya, muncullah teori Immanuel Kant sebagai penengah dari kedua aliran sebelumnya. Menurut Immanuel Kant yang ada di dalam pikiran itu sifatnya tetap, sedang yang di luar itu dinamis. Selain itu, Immanuel Kant juga mengemukakan bahwa pada dasarnya dunia itu terdiri dari prinsip identitas dan kontradiksi. Identitas itu ketika A=A, B=B, atau C=C, sedang ini sifatnya hanya ada di pikiran maka sebenarnya-benarnya obyek bersifat kontradiktif. Contoh, bila kita mengatakan bahwa jilbab itu berwarna biru, tentu kita tidak bisa menyimpulkan bahwa biru sama dengan jilbab.
Maka menurut Immanuel Kant bahwa yang ada di pikiran itu sifatnya analitik a priori dan yang di luar pikiran itu sintetik a posteriori. Sehingga rasio sifatnya analitik a priori dan pengalaman sifatnya sintetik a posteriori. Sebenar-benarnya ilmu itu adalah menggabungkan pengalaman dengan rasio. Bila kita menggunakan rasio saja dalam menggapai ilmu tentu ilmu yang kita punya hanya jadi imajinasi atau khayalan. Sedang bila kita menggunakan pengalaman saja dalam menggapai ilmu maka ilmu yang kita punya tak berdasar. Rasio dan pengalaman itu saling bersinergi membentuk ilmu. Karena sebenar-benarnya pengalaman adalah yang dipikirakan, sedang sebenar-benarnya pikiran adalah yang diterapkan atau diimplementasikan.
Perkembangan aliran filsafat kemudian semakin seru dengan munculnya pendapat Auguste Comte yang mengesampingkan filsafat dan agama dibanding rasio. Auguste Comte berpandangan bahwa untuk membentuk masyarakat yang makmur cukup dengan mengurusi hal-hal yang masuk akal saja (rasional), tak perlu menghabiskan waktu untuk memikirkan apalagi melakukan hal yang irrasional seperti berdoa dan beribadah. Pemikiran Auguste Comte ini yang kemudian mempengaruhi dunia kontemporer saat ini yang kemudian muncul istilah-istilah lain yang mengekor di bawahnya seperti kapitalisme, hedonisme, utilitarianisme, materialisme, dst. Ciri utama dari kehidupan dunia kontemporer saat ini adalah kemunafikan. Jadi sekarang kita diibaratkan sebagai seekor ikan kecil yang hidup dan berenang di lautan kehidupan modern yang berisi kapitalisme, hedonisme, utilitarianisme, materialisme, dst. Bila tidak kuat berpegang pada ajaran agama dan filsafat hidup yang benar, niscaya kita hanya akan menjadi makhluk modern yang syarat akan kemunafikan. Hal ini hanya akan berujung pada kesia-siaan karena hakekat hidup adalah menyiapkan bekal untuk kehidupan yang lebih baik di akhirat kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar